Kisah Penjemputan WNI dari Indonesia ke Jerman

Penjemputan WNI Ke Jerman

Pengalaman berliburan yang awalnya menggembirakan, penuh suka cita berubah menjadi kegelisahan dan kepanikan terjadi pada kakak saya. Sudah beberapa tahun ini ia dan suaminya tinggal di Jerman.

Hampir setiap beberapa tahun sekali mereka berlibur ke Indonesia, bahkan sejak pertengahan tahun 2019 mereka sudah membeli tiket untuk liburan ke Indonesia di bulan Februari – Maret 2020. Kamipun sudah jauh hari menyiapkan rencana acara liburan dan kunjungan, sungguh tidak disangka ternyata wabah yang terjadi bertepatan saat ini membuat kami hanya berada dirumah saja.

Liburan di rumah Itu baru awalnya saja, kemudian semua jadwal penerbangan yang seharusnya sudah dipesan untuk pulang ke Jerman ternyata di cancel oleh maskapai dan tidak tahu kepastian apakah bisa pulang ke Jerman atau tidak.

Puji syukur saat kami tak henti berdoa sebuah titik terang terjadi. Pemerintah Jerman membuka pendaftaran untuk penjemputan warga negara Jerman atau family member yang tinggal di Indonesia untuk pulang ke Jerman. Keputusan itu begitu mendadak dan rute kepulangannya hanya lewat Bali. Jadi harus segera booking tiket dari Jakarta ke Bali. Selanjutnya berangkat dari Bali menuju Frankfrut – Jerman.

Semoga kisah ini bisa memberikan kekuatan bagi kita semua bahkan tetaplah berdoa dan berharap kepada Tuhan meskipun bahkan untuk sesuatu hal yang tidak mungkin.

(Pengalaman ini ditulis tanggal 30 Maret 2020)

Update : Kakak saya sudah sampai di Jerman, setelah sampai langsung karantina mandiri 14 hari dan setelah itu melakukan pembatasan sosial (physical and social distancing). Semoga Pandemi Corona ini segera berakhir.

Laskar Pelangi Sorong Kembali

Saya pernah bersekolah di Sekolah Dasar Negeri 3 HBM Sorong dari kelas 1 sampai kelas 3 di Papua Barat. Tempat itu memberikan banyak sekali memori masa kecil yang sangat menyukakan di masa 80-an akhir.

Adalah sebuah kebanggaan buat saya karena saya melihat diri saya persis seperti Lintang di film Laskar Pelangi dari Sorong Papua Barat. Bukan kehidupannya tetapi kepintarannya. Disana saya anak terpintar dikelas (memuji diri sendiri boleh ya) karena dirapot selalu ada tulisan “Rangking 1”. Bagaimana tidak, karena saya sudah lebih dulu belajar, sehingga saat teman lainnya masih mengenal huruf saya sudah belajar membaca, begitu juga soal tambah-tambahan dan kali-kalian.

Berbicara tentang kenangan masa kecil tidak ada habisnya, saya akan selalu ingat pernah pergi ke kantor Bea Cukai tempat bapak bekerja yang terletak diatas bukit dengan pemandangan laut yang indah lokasinya tak jauh dari tembok Berlin, berlibur ke pantai tanjung Kasuari dengan jalan yang belum rata, makan ikan segar sepuasnya setiap hari dengan harga murah, natalan yang penuh dengan sukacita (mayoritas disana kristen jadi berasa banget natalannya) dan aroma kue-kue natal dari tetangga. Rumah kami di daerah Remu memberikan banyak kisah salah satunya kisah “homuk” seorang preman pemabuk yang sering mengganggu saya dan kakak, belasan soang yang selalu mengejar saya sewaktu berangkat sekolah, suasana sekolah yang indah meskipun didepan sekolah adalah bukit kuburan, belanja di Yohan dan masih banyak lagi.

Namun kenangan indah di Sorong itu terhenti tatkala bapak harus berpindah tugas ke Sumatera di kota Jambi, kami harus pindah namun sebelum berangkat naik kapal Umsini dari Sorong ke Jakarta, saya berjanji dalam hati bahwa suatu hari nanti saya akan ketempat ini, tempat yang memorable buat saya.

Lebih dari seperempat abad kemudian, mimpi itu baru saja terealisasi, ditahun ini sebulan lalu saya baru kesana untuk merealisasikan mimpi itu dalam sebuah perjalanan pelayanan. Perjalanan direct flight Jakarta ke Sorong selama 4 jam lebih itu terasa singkat, setelah sampai dan sarapan pagi, hal yang pertama saya lakukan adalah ke rumah masa kecil. Ditemani oleh Ibu Purnomo yang juga bude saya, kami kesana walau ditemani gerimis hujan rintik-rintik, seperti ada perasaan campur aduk saya antara suka senang haru sedih campur jadi satu.

Rumah itu memang sudah jauh berbeda dengan rumah masa kecil saya karena sudah direnovasi total namun atmosfirnya masih sama, kamipun memberanikan diri masuk dan menyapa pemilik rumah tersebut, ternyata pemilik rumah dinas itu juga sama dengan saya, sebuah keluarga dengan tiga orang anak yang masih juga seusia saya waktu itu, ayahnya juga sama bekerja di Bea Cukai yang sudah 3 kali berpindah-pindah tugas. Kamipun sempat berfoto bersama. Senang sekali.

Kemudian kami berlanjut ketujuan selanjtunya yaitu sekolah saya tercinta, sekali lagi perasaan saya campur aduk antara boleh masuk atau tidak, dan bersyukur hari itu baru saja anak sekolah pulang dari ujian sehingga sekolah sepi hanya tinggal guru-guru yang sedang berdiskusi dan koreksi. Kami memberanikan diri untuk masuk dan memperkenalkan diri, bercerita siapa saya dan bahkan mereka sangat ramah dan memperbolehkan kami untuk berfoto bersama para guru.

Kedua kejadian itu sangat berkesan sekali, entah tiba-tiba memori dikepala saya jadi seperti flash back kembali dimana letak kelas saya, jalan yang saya lalui seperti sebuah memori puzzle yang hilang dipersatukan kembali. Tak habis-habis kalimat syukur datang meluncur dari mulut saya, terima kasih Tuhan untuk momen ini.

Setelah berfoto kami pamit dan hari-hari selanjutnya saya lakukan dengan mengunjungi tempat-temapat di kota Sorong, melihat tembok berlin di Sore hari, berbelanja ke pasar ikan disamping laut. Lengkap dengan penjual bumbu-bumbu dan papeda.

Juga melihat kapal-kapal di pelabuhan rakyat yang menyebrangkan para turis dari Sorong ke Raja Ampat. Melakukan tugas pelayanan untuk guru sekolah minggu, melihat peresmian gereja kami yang baru, mengunjungi gereja kami yang dulu banget di Malanu Pasir, mengunjungi yang sakit dan lembur mempersiapkan makanan.

Tak lupa pula kami mengunjungi keluarga kami di daerah Aimas melewati jalan-jalan baru yang sangat mulus dan indah pemandangannya, yang dulunya perjalanan sangat jauh, lama dengan moda transportasi yang tidak memadai kini sudah berubah berkat pembangunan jalan di Papua oleh presiden Jokowi.

Pengalaman ini memberikan sebuah pesan yang dalam buat saya bahwa apapun yang kamu mimpikan, akan benar-bernar terjadi jika kamu percaya. Yakinlah itu. Pengalaman masa kecil yang indah memang tidak akan terulang lagi, gunakanlah momen itu dengan baik dan jika dilain waktu kami kembali ke tempat masa itu… tempat itu tidak pernah hilang karena itu akan selalu ada dihati. Sorong akan selalu ada didalam hati, karena saya akan tetaplah laskar pelangi dari Sorong.

Hidup Lebih Mandiri Tanpa ART

halaman

Sejak menikah kami memang memutuskan tinggal di apartemen saya. Hal yang saya sukai hidup disana karena lebih praktis, simple dan lokasi yang strategis. Namun setelah sekian tahun tinggal sana dan anak kami sudah mulai besar, kami memutuskan untuk saatnya pindah disebuah perumahan.

Rumah tersebut lima kali lebih besar dari ukuran apartemen saya hehehe. Wah pasti kebayang bagaimana repotnya. Iya betul, namun hanya diawal-awal bulan aja kaget dan adaptasi, selanjutnya saya mulai terbiasa namun tidak untuk beberapa tetangga. Mereka amat kaget dan tidak percaya bahwa saya melakukan semua pekerjaan rumah tangga sendiri tanpa dibantu asisten rumah tangga (ART). Bahkan hanya saya saja dikomplek yang tidak punya ART.

Ga apa-apa sih kalo saya dianggap aneh dan setiap orang boleh berpendapat. Memang mempunyai ART sejatinya diciptakan dari kultur kita sendiri sebagai orang Indonesia. Kakak saya tinggal dirumah yang jauh lebih besar (secara orang eropa rumahnya gede-gede) semua dikerjakan sendiri semua. Saya tanya kenapa tidak ada yang bantu? dia cuma ketawa dan bilang kalo bisa sendiri kenapa enggak dilakukan.

Buat saya pribadi, dampak langsung yang saya rasakan adalah saya menjadi lebih mandiri. Bisa jadi ini terjadi karena kebawa selama tinggal diapartemen dengan pola hidup yang simple, minimalis, cepat, praktis, semua manfaat baiknya saya terapkan dirumah ini. Home sweet home.

 

 

%d bloggers like this: